Rabu, 02 Mei 2012

Zakat, Kesjahteraan dan Keadilan Sosial

Oleh
Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin, M.Sc


Semua memaklumi bahwa zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah, artinya ibadah yang berkaitan dengan harta. Zakat memiliki kedudukan penting dalam membangun masyarakat yang sejahtera dan terbebas dari kemiskinan. Jika zakat dikelola dengan baik, pengambilan (pengumpulan) dan pendistribusiannya diharapkan dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat dan hal itu sudah dibuktikan dalam sejarah kehidupan umat Islam.

Dalam pengertian demikian, pembayar zakat (muzakki) akan meningkat kualitas keimanannya, rasa syukurnya, kejernihan dan kebersihan jiwanya, sekaligus akan mengembangkan harta yang dimilikinya. Di sisi lain, penerima zakat (mustahiq) akan meningkat kesejahteraan hidupnya, terjaga agama dan akhlaknya, sekaligus termotivasi untuk meningkatkan etos kerja dan ibadahnya. Bagi masyarakat luas, hikmah zakat akan dirasakan dalam bentuk tumbuh dan berkembang rasa solidaritas sosial, keamanan dan ketenteraman, berputarnya roda ekonomi, karena dengan zakat harta akan terdistribusi dengan baik, sekaligus menjaga dan menumbuhkembangkan etika dan akhlak dalam bekerja dan berusaha.

Zakat bukanlah sekadar suatu kebajikan, tetapi adalah salah satu fondamen (rukun) Islam yang utama. Namun perlu diperhatikan pula bahwa Islam mendorong supaya umatnya agar berupaya untuk menjadi pembayar zakat (muzaki), dan bukan penerima zakat (mustahiq), kecuali dalam kondisi yang amat terpaksa.

Dewasa ini, sumber-sumber pemungutan zakat tidak hanya meliputi zakat hasil pertanian yang menjadi makanan pokok, hewan ternak, perdagangan, emas dan perak serta harta terpendam (rikaz). Tetapi meliputi zakat penghasilan atas kerja dan profesi, zakat perusahaan, zakat obligasi, zakat uang simpanan (tabungan dan deposito), zakat hasil kekayaan laut, dan lain-lain. Fatwa MUI tahun 1982 menjelaskan bahwa semua jenis harta yang memenuhi persyaratan zakat (seperti penghasilan profesi) harus dikeluarkan zakatnya.

Penetapan kewajiban zakat atas jenis-jenis harta yang tumbuh dan berkembang dalam perekonomian masa kini menunjukkan betapa hukum Islam sangat aspiratif dan responsif terhadap perkembangan zaman. Zakat sebagai kewajiban bagi seorang muslim yang harta kekayaannya mencapai nishab, merupakan sumber dana yang akan terus berkembang dalam kehidupan umat Islam.

Potensi zakat di Indonesia, menurut penelitian terbaru dilakukan BAZNAS bersama IPB tahun 2011 adalah mencapai Rp. 217 triliun dalam satu tahun. Namun realisasi penerimaan zakat saat ini masih jauh di bawah angka tersebut. Laporan penerimaan zakat tahun 2011 oleh lembaga pengelola zakat di Indonesia, yaitu BAZNAS, BAZ Daerah serta Lembaga Amil Zakat (LAZ) adalah sekitar Rp. 1, 8 triliun setahun. Dengan demikian, pengelolaan zakat masih memerlukan pembenahan dan penguatan, baik dari segi landasan perundang-undangan, penataan kelembagaan, perbaikan manajemen pengelolaan, dan yang teramat penting adalah kesadaran umat Islam untuk membayar zakat dengan benar.

Sebagaimana kita ketahui, zakat adalah satu-satunya ibadah yang disebutkan dalam Al-Quran ada petugasnya yang disebut amilin. Karena itulah, amil zakat selayaknya memiliki positioning dan kekuatan dalam mewujudkan masyarakat yang sadar bahwa zakat adalah kewajiban dalam agama. Pada waktu Rasulullah Saw membentuk umat dan negara Islam yang berdaulat di Semenanjung Arabia, negara menjalankan kewenangannya untuk memungut zakat dan pajak.

Sebelum dekade 1990-an pengelolaan zakat di Indonesia masih bersifat terbatas, pengumpulan dan pendistribusiannyapun dilakukan secara tradisional dan individual. Setelah adanya Undang-Undang Pengelolaan Zakat (UU No 38 Tahun 1999 yang telah diperbarui dengan UU No 23 Tahun 2011), kegiatan pengumpulan dan pendistribusian zakat diwadahi secara terstruktur dan terlembaga dengan pola manajemen yang profesional. Penerapan standar profesionalisme pengelolaan zakat, bukan berarti mengubah bentuk, sifat serta tujuan hakiki organisasi pengelola zakat sebagai lembaga sosial yang bersifat nirlaba (non-profit).

Organisasi pengelola zakat bukan jenis badan usaha atau korporasi yang bekerja dengan logika bisnis. Maka, ke depan perlu diupayakan agar tanggung jawab negara dan pemerintah dalam pembinaan dan pengawasan pengelolaan zakat zakat dapat dilaksanakan melalui sistem dan mekanisme yang lebih efektif, sehingga pengelolaan zakat di negara kita akan semakin optimal, baik proses maupun pemanfaatannya bagi umat, sebagaimana yang sudah mulai dirasakan saat ini. Wallahu a’lam bisshawab.


Penulis adalah Ketua Umum BAZNAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar