Rabu, 09 Mei 2012

Surga di Telapak Kaki Ibu



Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

Muqaddimah

Ungkapan di atas sangat populer sekali dan banyak beredar di pengajian, ceramah, dan tu­lisan yang menekankan keutamaan berbakti kepada kedua orang tua, terutama seorang ibu yang telah banyak berjasa besar dan melakukan pengorbanan yang luar biasa untuk anaknya.

Ungkapan ini semakin laris manis pada saat menyongsong hari ibu yang diperingati oleh sebagian kaum muslimin untuk mengenang jasa para ibunda. Namun, apakah ungkapan ini merupakan hadits Nabi?! Ataukah hanya kata mutiara saja?! Apakah kemasyhurannya adalah jaminan bahwa itu adalah ucapan Nabi?!

Berikut ini kajian singkat tentang hadits pembahasan. Semoga Allah menjadikannya bermanfaat bagi kita semua.

TEks Hadits: “Surga di bawah telapak kaki ibu.

” MAUDHU’. Diriwayatkan oleh Abu Bakar asy­ Syafi’i dalam ar-Ruba’iyyat 2/25/1, Abu Syaikh dalam al-Fawaid no. 357 dalam at-Tarikh hlm. 253, ats­Tsa’labi dalam Tafsir­nya 3/53/1, al­Qudha’i dalam Musnad Syihab 2/2/1, ad­Dulabi dalam al- Kuna 2/138 dari Manshur bin Muhajir dari Abu Nadhr al­ Abbar dari Anas secara marfu’.

Sanad ini parah, karena Manshur dan Abu Nadhr tidak dikenal sebagaimana kata Ibnu Thahir, seperti dinukil oleh al­ Munawi dalam Faidhul Qadir seraya mengatakan, “Hadits ini mungkar.”

Hadits ini memiliki jalur lain, diriwayatkan Ibnu Adi dalam al-Kamil 1/325 dan al­ Uqaili dalam adh-Dhu’afa' dari Musa bin Muhammad bin Atha': Menceritakan kepada kami Abu Ma­lih: Menceritakan kepada kami Maimun dari Ibnu Abbas d secara marfu’ (sampai kepada Nabi).

Sanad ini adalah maudhu’, sebab Musa bin Atha' adalah seorang pendusta. Al­Uqaili ber­ kata, “Hadits ini mungkar.”

Pnngganti yang shahih

Sebagai ganti hadits ini adalah hadits Mu’awiyah bin Jahimah, bahwasanya beliau datang kepada Rasulullah seraya berkata:



“Wahai Rasulullah, aku hendak berperang, kini aku datang untuk meminta pendapat engkau.” Rasulullah menjawab, “Apakah engkau mempunyai ibu?” Jawabnya, “Ya.” Lalu Rasulullah bersabda, “Berbuat baiklah kepadanya. Sesungguhnya surga itu berada di bawah kedua kakinya.”

Diriwayatkan Nasa’i (2/54) dan ath­Thabarani (2/225), dan sanadnya?hasan—insya Allah. Al­ Hakim menshahihkannya (4/151) dan disetujui oleh adz­Dzahabi dan al­Mundziri (3/214).

Faedah: Maksud “Surga di bawah telapak kaki ibu” adalah bahwa tawadhu’ (rendah hati) kepada seorang ibu merupakan sebab ma­suknya seorang ke surga. Demikian dikatakan oleh az­Zarkasyi dan as­Sakhawi.

Yang Penting Maknanya Benar

Kebenaran makna dan isi suatu ungkapan tidak serta­-merta menjadi alasan bolehnya menisbahkan ungkapan tersebut kepada Nabi. Sebab, tidak boleh menisbahkan ungkapan kepada Rasulullah kecuali yang benar­-benar beliau sabdakan. Al­Hafizh Abul Hajjaj al­Mizzi berkata, “Tidak boleh seorang pun menis­bahkan ungkapan yang dianggapnya baik ke­ pada Rasulullah sekalipun maknanya benar, karena semua yang dikatakan oleh Rasulullah adalah benar, tetapi tidak semua yang benar itu mesti dikatakan oleh Rasulullah .”

Syaikh al­Albani juga menilai bahwa terma­suk kebodohan anggapan bahwa suatu hadits apabila benar maknanya berarti Rasul pasti mengucapkannya. Beliau berkata, “Sung­guh ini adalah kejahilan yang amat parah, kare­na betapa banyak hadits­-hadits yang dilemah­kan oleh para ulama ahli hadits padahal maknanya shahih. Terlalu banyak kalau saya harus menampilkan contoh-­contohnya, cukuplah apa yang terdapat dalam kitab karyaku ini. Seandainya penshahihan hadits dibuka karena melihat maknanya yang shahih tanpa meli­hat kepada sanadnya, niscaya berapa banyak kebatilan akan masuk kepada syari’at dan be­tapa banyak manusia yang akan menyandar­kan kepada Nabi ucapan yang tidak beliau katakan, dengan alasan tersebut, kemudian me­reka mengambil tempat duduknya di neraka.”

Pupuler Bukan Jaminan Shahih

Bila ada yang mengatakan: Namun, hadits ini 'kan sudah masyhur dan populer sekali di masyarakat, apakah hal itu tidak cukup menun­jukkan bahwa dia adalah hadits shahih?! Kami katakan: Suatu hadits yang masyhur (populer) dan laris­-manis di kalangan masyara­kat sama sekali bukanlah jaminan bahwa hadits tersebut shahih. Berapa banyak hadits yang masyhur di masyarakat, tetapi para ulama ahli hadits menghukuminya sebagai hadits lemah, palsu, bahkan tidak ada asalnya.

Al­ Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hadits masyhur bisa juga diartikan dengan suatu hadits yang ba­nyak beredar di lidah masyarakat umum, maka hal ini mencakup hadits yang memiliki satu sanad atau lebih, bahkan hadits yang tidak me­miliki sanad sama sekali.”

Syaikhul Islam berkata, “Seandainya sebagian masyarakat umum yang mendengar hadits dari tukang cerita dan aktivis dakwah, atau dia membaca hadits, yang baginya adalah populer, maka hal itu sama sekali bukanlah menjadi patokan. Betapa banyak hadits­-hadits yang populer di masyarakat umum, bahkan di kalangan para ahli fiqih, kaum sufi, ahli filsafat, dan sebagainya, lalu menurut pandangan ahli hadits ternyata hadits tersebut adalah tidak ada asalnya, dan mereka menegaskan hadits terse­ but palsu.”

Ibu, Alangkah Besarnya Jasamu!!

Sesungguhnya kedudukan berbuat baik ke­ pada orang tua dalam Islam sangatlah tinggi dan agung. Betapa banyak Allah mengiring­kan antara hak­Nya dan hak orang tua, seperti firman Allah :

ِDan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara ke duanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”(QS. al­Isrâ' [17]: 23–24)

Berbuat baik kepada ibu bapak sama­-sama ditekankan dalam Islam, namun yang lebih ditekankan lagi ialah berbuat baik kepada ibu karena besarnya jasa dan pengorbanan seorang ibu daripada ayah.

Allah berfirman:

َٰ Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman [31]: 14)

Dalam ayat ini Allah menyebutkan tiga jasa ibu: tugas sebagai ibu, mengandung, dan me­ nyapih.

Ayat ini diperkuat oleh hadits berikut:

Dari Abu Hurairah berkata, “Datang seorang lelaki kepada Rasulullah seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Dia bertanya lagi, ‘Lalu siapa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu.’ Dia bertanya lagi, ‘Siapa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu.’ Dia bertanya lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari: 5971 dan Muslim: 2548)

Dalam hadits ini, Nabi menyebut ibu sebanyak tiga kali, menunjukkan bahwa ibu adalah wanita yang paling berjasa bagi anak. Maka semestinya seorang anak untuk berbuat baik kepadanya lebih dari yang lainnya. Na­mun sangat disayangkan sekali, pada zaman kita sekarang banyak sekali anak­-anak yang tidak berbakti kepada ibunya. Lantas, seperti inikah balasan orang yang telah berjasa besar kepadamu?!

Saudaraku, seorang ibu adalah wanita yang sangat mulia dan pahlawan bagi anak, dia telah melakukan pengorbanan yang luar biasa dan berjasa dengan jasa yang tidak bisa dibayar dengan harta, dialah yang mengandung be­ berapa bulan lamanya dengan penuh kesulitan dan penderitaan, dialah yang melahirkan de­ ngan taruhan nyawa, dialah yang menyusui, merawat, mendidik, mengasihi hingga tumbuh dewasa. Ingatlah bahwa kebaikan apa pun yang telah engkau berikan kepada ibu, maka itu belum sesuai dengan jasa mereka sedikit pun.

Dikisahkan bahwa ada seorang berkata kepada sahabat Abdullah bin Umar, “Saya telah menggendong ibuku di atas punggungku dari Khurasan sampai selesai menunaikan ibadah manasik haji, apakah saya telah membalas budi ibu saya?!” Ibnu Umar, “Tidak seimbang sama sekali meskipun (hanya) dengan sekali penderitaannya saat melahirkan.” Akhirnya, kita berdo’a kepada Allah agar menjadikan kita semua anak-­anak yang ber­bakti kepada orang tua kita, khususnya kepada ibu kita, baik ketika mereka masih hidup di du­nia atau sudah meninggal dunia. Âmîn. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar