Allah menciptakan manusia dengan berbagai macam suku, ras, agama, dan budaya yang tersebar di seantero jagat.
Allah juga menegaskan, perbedaan asal usul merupakan bukan sumbu perpecahan, tetapi justru adalah bekal berharga untuk saling mengenal satu Muslim dengan Muslim yang lain.
Prinsip inilah yang melandasi petualang asal Maroko, Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Al-Lawati Ath-Thanji atau akrab dikenal dengan Ibnu Bathuthah.
Ibnu Bathuthah menjelajah dunia untuk menyingkap keajaiban karya Allah SWT, Sang Pencipta alam semesta. Perjalanannya melanglang dunia itu telah dibukukan dengan judul The Adventures of Ibn Bathuthah. Dalam bahasa Arab, berjudul Ar-Rihlah.
Sebenarnya, judul bukunya dalam bahasa Arab adalah Tuhfah an-Nazhar fi Gharaib al-Amshar wa ‘Ajaib al-Asfar. Namun, disingkat dengan Ar-Rihlah. Dalam kitabnya yang terdiri atas dua jilid ini, Ibnu Bathuthah menuliskan pengalaman dan petualangannya ke seluruh penjuru dunia. Hebatnya lagi, ia mendeskripsikan tiap negara yang dia singgahi berikut uraian terkait kondisi sosial, budaya, dan kemasyarakatan.
Bahkan, Ibnu Bathuthah menceritakan hal-hal kecil yang asing dan belum pernah dia dapati di negara asal, mulai dari tumbuh-tumbuhan, hewan, jenis makanan, dan lain sebagainya. Misalnya, sewaktu mengunjungi Cina, dia dan rombongan hendak memasak ayam, dikatakan bahwa ayam-ayam yang berasal di Cina besar ukurannya sampai-sampai tidak muat ketika hendak di masak di bejana.
Dan tak ketinggalan poin penting yang selalu ditekankan Ibnu Bathuthah dalam diary-nya tersebut adalah mengangkat kondisi penyebaran dan corak pemahaman agama Islam yang saat itu sudah tersebar di pelosok Afrika dan Asia sekalipun masih sangat sedikit.
Peninggalan semata wayang
Kitab Ar-Rihlah merupakan dokumentasi satu-satunya yang mengabadikan kisah petualangan Ibnu Bathuthah. Bahkan, bisa dipastikan kitab Ar-Rihlah adalah warisan berharga semata wayang yang ditinggalkannya walaupun dia dikenal sebagai seorang alim, fakih, dan masyhur menjadi seorang hakim di beberapa wilayah yang dia singgahi.
Pada awalnya, tak tebersit di benak Ibnu Bathuthah untuk membukukan pengalaman yang didapat selama menjelajah dunia.
Namun, setelah mendapat saran dan dorongan dari sejumlah kalangan, terutama Sultan Maroko, Abu Affan Faris Al-Mutawwakil, generasi ke-11 Kesultanan Bani Marinid (Maryan), akhirnya pada 1354 M, dia berkenan berbagi cerita melalui dokumentasi sebuah buku dan berhasil diselesaikan pada 1355 M.
Lantaran Ibnu Bathuthah kurang mahir menulis dan mengemas cerita dalam bahasa sastra, sang sultan memerintahkan seorang sarjana Muslim bernama Abu Abdullah Ibnu Juzzay membantu proses pembukuan.
Ibnu Juzzay, sosok yang pernah bertemu dengan Ibnu Bathuthah di Granada, Spanyol, adalah orang yang menyusun dan merapikan penggalan demi penggalan cerita yang sebagian didiktekan dan separuh lainnya ditulis secara parsial dan tak beraturan oleh Ibnu Bathuthah dengan mengorek kembali memori ingatannya.
Oleh Abdullah Ibnu Juzzay, kitab Ar-Rihlah juga diberikan beberapa tambahan serta dilengkapi dengan sejumlah deskripsi negara yang tidak disebutkan oleh Ibnu Bathuthah, antara lain kisah negara Suriah, Palestina, dan Makkah.
Deskripsi tersebut dinukil dan diambil dari kitab Ar-Rihlah karangan Ibnu Jubair yang juga pernah berkeliling dunia sejak 579 H hingga 614 H sekitar abad ke-12 Masehi, selisih satu abad penuh sebelum Ibnu Bathuthah muncul.
Bahkan, usaha yang dilakukan oleh Ibnu Juzzay tersebut justru hampir mengacak-acak karya Ibnu Bathuthah. Namun, untungnya, Ibnu Bathuthah bertindak fair dengan menyebutkan ungkapan “menurut Ibnu Juzzay” tatkala mencantumkan dan menyisipkan tambahan di kitab Ar-Rihlah.
Kesederhanaan bahasa dan konsep penulisan buku inilah yang membuat Ibnu Khaldun meragukan keabsahan dan validitas. Ibnu Khaldun dengan tegas mengatakan bahwa karya Ibnu Bathuthah diragukan secara ilmiah karena informasi tentang wilayah yang dia singgahi sangat minim. Bahkan, Ibnu Khaldun menuding Ibnu Bathuthah menyampaikan berita-berita bohong mengenai tradisi dan adat-adat yang berlaku di masyarakat wilayah tertentu yang dia kunjungi.
Keraguan serupa juga ditunjukkan oleh sebagian kalangan orientalis. Kebanyakan mereka meragukan kevaliditas informasi yang disampaikan Ibnu Bathuthah. Para orientalis tersebut mendapati sejumlah kejanggalan kisah perjalanan yang diungkapkan Ibnu Bathuthah.
Misalnya, bagaimana Ibnu Bathuthah menempuh perjalanan dari Sungai Volga di New Sarai menuju Bolghar. Selain itu, ada keraguan lain, seperti kisah melancong Ibn Bathuthah ke Sana’a (Yaman) atau dari Balkh ke Bistam di Khurasan dan perjalanannya mengitari Anatolia.
Sejumlah orientalis juga mempertanyakan rute perjalanannya ke Cina. Namun, kalangan orientalis yang lain justru menganggap karya Ibnu Bathuthah sebagai konstribusi berharga untuk ilmu geografi dan sosiologi dan termasuk khazanah penting pula berharga pada abad ke-14.
jackbox.tk
Rute perjalanan Ibnu Bathuthah.
Selanjutnya, setelah berabad-abad, kitab karangan Ibnu Bathuthah itu tenggelam dari permukaan, bahkan di dunia Muslim sekalipun.
Hingga pada tahun 1800, salinan pertama diterbitkan di Jerman dan Inggris berdasarkan manuskrip yang ditemukan di Timur Tengah sesuai dengan versi Ibnu Juzzay.
Ketika Prancis menjajah Algeria (Aljazair) pada tahun 1830, mereka menemukan lima manuskrip Ar-Rihlah Ibnu Bathuthah di Konstantina dan dua di antaranya adalah versi lengkap. Naskah manuskrip tersebut lantas diboyong ke Bibliothèque Nationale di Paris.
Pada tahun 1853, manuskrip kitab Ar-Rihlah itu dikaji secara instensif oleh dua sarjana Prancis, yaitu Charles Defrémery and Beniamino Sanguinetti, yang kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, tak terkecuali Arab. Naskah inilah yang kemudian dijadikan bahan kajian oleh sarjana-sarjana dunia, termasuk cendekiawan Muslim.
Momok
Sayangnya, kitab Ar-Rihlah Ibnu Bathuthah atau mungkin kitab-kitab geografi serupa yang ditulis pada zaman klasik akan menjadi momok bagi kalangan non-Arab. Pertama, kendala bahasa dan nama yang digunakan untuk menyebut sebuah daerah sama sekali asing dan tak jarang susah dimengerti. Akibatnya, sulit memastikan wilayah manakah yang dimaksudkan.
Faktor yang kedua, penulisan geografi tersebut tidak didukung dengan ilmu pemetaan yang sedianya akrab digunakan saat ini. Perubahan geografis dan teritorial yang berlaku dalam hukum internasional turut mengubah letak dan garis suatu negara.
Oleh karena itu, tak sedikit ilmuwan, termasuk sarjana Muslim, mengkaji ulang dan mempelajari kitab Ar-Rihlah. Di kalangan Muslim, misalnya, Prof Mahmud As-Syarqawi mengupas dan memberikan syarah (komentar) atas karangan Ibnu Bathuthah yang diberi tajuk Ar-Rihlah Ma’a Ibn Bathuthah.
Prof Syakir Hadlbaj menulis sebuah buku yang berjudul Ar-Rihlah Ibnu Bathuthah. Lewat karyanya itu, Syakir menguraikan bahasan yang menjadi pelik dan persoalaan.
Pengembara yang alim dan fakih
Ibnu Bathuthah dilahirkan di Tanja, Maroko, pada Rajab 703 H atau Februari 1304 M. Ayahnya adalah seorang hakim terkenal di daerahnya. Sebenarnya, sang ayah mempersiapkan dia untuk mengganti posisi ayahnya sebagai hakim. Oleh karena itu, Ibnu Bathuthah menghafal Alquran dan belajar ilmu agama, sastra, dan puisi.
eventsandpromo.info
Ibnu Bathuthah sang petualang (ilustrasi).
Petualangannya pertama kali Ibnu Bathuthah dimulai pada tahun 725 H/1325 M saat masih berusia 22 tahun dan berlangsung selama kurang lebih 27 tahun.
Negara-negara yang pernah disinggahinya adalah Arab Saudi, Tunisia, Libya, Mali, Timbuktu, India, Filipina, Vietnam, Indonesia, Bizantium, Konstantinopel, Rusia, dan lain sebagainya.
Sekalipun bukan pedagang dengan modal besar, Ibnu Bathuthah mampu melakukan traveling dengan kondisi keuangan yang minim, bahkan sering kali tidak memiliki bekal sama sekali.
Hal ini karena Ibnu Bathuthah mahir ilmu agama dan sering ditunjuk sebagai hakim, seperti di New Delhi. Ibnu Bathuthah tidak lagi berpetualang dan menjadi hakim di Maroko, kemudian meninggal dunia tahun 779 H/1378 M.
Indonesia
Ibnu Bathuthah dikabarkan pernah singgah ke Indonesia. Tepatnya, sekitar tahun 754 H/1344 M. Konon, Ibnu Bathuthah menepi di tanah Sumatra (orang Arab dulu menyebutnya Samuthrah, Samudrah), tepatnya di Aceh yang dulu dikenal oleh orang Arab dengan nama Bandar.
Ibnu Bathuthah mengisahkan Islam sudah masuk di Aceh melalui bangsa Arab, Persia, dan India. Ia juga mengaku bahwa kedatangannya ke wilayah Sumatra sebagai utusan Kesultanan India sehingga dia disambut oleh Azh-Zhahir, julukan raja-raja di Aceh saat itu. Sayangnya, tidak ada nama pasti siapakah raja yang dimaksud.
Ibnu Bathuthah memuji ketaatan raja tersebut yang cinta terhadap ulama, menegakkan jihad, dan sistem pemerintahannya berdasarkan syariat Islam karena saat itu diberlakukan sistem upeti bagi non-Muslim.
Raja tersebut juga suka menghormati tamu seperti yang ditunjukkannya kepada Ibnu Bathuthah. Oleh sang raja, Ibnu Bathuthah diberi hadiah bekal, berupa celana, pakaian, dan serban.
Dalam buku Ar-Rihlah, juga disebutkan bahwa Ibnu Bathuthah melihat kemewahan armada transportasi raja terdiri atas 50 gajah yang mengelilingi dari sisi kanan dan kiri.
Di samping itu, dia juga takjub dengan pertunjukan kuda yang menari-nari. Agar lebih menarik, kuda tersebut dihiasi dengan pelana dari sutra dan dipersolek memakai pernak-pernik emas. Setelah singgah di Sumatra, Ibnu Bathuthah pun lantas melanjutkan perjalananya menuju Malaka.( Chairul Akhmad, Nashih Nashullah-ROL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar